MAHASISWA MAGISTER TEKNIK PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

Selasa, 01 Juli 2008

Tugas Teori Lokasi Dan Pola Ruang

ANALISIS DAYA TARIK LOKASI DENGAN MODEL GRAVITASI HANSEN
(Contoh Lokasi Industri Kecil di Kabupaten Banjarnegara)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara geografis wilayah Kabupaten Banjarnegara terletak antara 7º12’ - 7º31’ Lintang Selatan, dan antara 109º20’10” - 109º45’50” Bujur Timur. Bila dilihat pada peta Kabupaten terlihat bahwa bentuk wilayah Kabupaten Banjarnegara secara sepintas menyerupai bentuk jajaran genjang yang memanjang dari arah barat daya (Kecamatan Susukan) kearah timur laut (Kecamatan Batur) dengan dataran tinggi Dieng pada ujungnya.
Wilayah Kabupaten Banjarnegara seluas 106.970,997 Ha. Daerah datar dengan kemiringan kurang 15 % hanya 26.325,562 ha atau 24,61 % dari luas wilayah kabupaten, sedang daerah dengan kemiringan lebih lebih dari 40 % seluas 32.465,698 ha atau 30,35 % dari luas wilayah. Area dengan kemiringan terjal ini oleh penduduk masih dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya dengan pengolahan secara tradisional.
Penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Banjarnegara didominasi oleh penggunaan pertanian lahan kering (31,23%). Kondisi ini dikarenakan kondisi alam lingkungan khususnya topografi yang berbukit-bukit sehingga menyulitkan untuk pembangunan jaringan irigasi. Luas area hutan hanya kira-kira seperdua dari luas lahan yang kemiringannya lebih dari 40 %. Lahan sawah subur cenderung berkurang dimanfaatkan sebagai daerah terbangun. Persebaran penduduk tidak merata. Konsentrasi penduduk terjadi pada daerah-daerah tertentu yang potensial untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Secara umum dan aspek kependudukan wilayah Kabupaten Banjarnegara merupakan wilayah pedesaan (rural). Pada bagian sebelah barat terdapat 4 kecamatan yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan sosial cukup baik karena wilayah tersebut merupakan jalur utama menuju Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga dan Kota Purwokerto.
Dalam perencanaan wilayah ada beberapa analisis yang harus dilakukan sebelum memutuskan wilayah tersebut akan dibangun fasilitas tertentu. Salah satu analisis tersebut menggunakan model gravitasi sebagai cara untuk menentukan daya tarik antar wilayah. Model gravitasi terdiri dari beberapa macam seperti model gravitasi hansen atau model potensial lahan, model gravitasi dengan pembatas tunggal dan model gravitasi dengan pembatas ganda.
Pada kesempatan ini penulis akan mencoba memilih mengaplikasikan Model Gravitasi Hansen untuk menganalisis daya tarik lokasi di 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Susukan, Purworejo Klampok, Mandiraja, dan Purwonegoro. Hal ini dikarenakan kecamatan Susukan memilik indusri kecil pembuatan gula jawa (merah) dan pembuatan batik, kecamatan Purworejo Klampok terdapat industri kecil pembuatan keramik, kecamatan Mandiraja terdapat kerajinan anyaman bambu, kecamatan Purwonegoro memiliki banyak usaha perikanan air tawar dan pasar ikan.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas ternyata masing-masing kecamatan memiliki daya tarik atau keunggulan yang lainnya maka permasalahan yang muncul dan hal-hal yang terkait dengan analisis model gravitasi Hansen tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
”Apakah Lokasi Industri Dapat Menjadi Daya Tarik Pergerakan Masyarakat Di Sekitarnya”.

BAB II
LANDASAN TEORI DAN DATA

A. Landasan Teori
1. Pendahuluan Teori Model Gravitasi
Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral biasanya less-spatial (kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan), sedangkan penedekatan regional lebih bersifat spatial dan merupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang.(Tarigan:35). Karena di dalam pengembangan wilayah penggunaan lahan dan sistem pergerakan manusia yang dijadikan kajian maka perencana harus terlebih dahulu memperhatikan daya tarik lokasi tersebut. Dan salah satu model yang banyak digunakan untuk menganalisa perencanaan pengembangan wilayah adalah model gravitasi. Model ini dapat membantu para perencana wilayah untuk memperkirakan daya tarik suatu lokasi dibanding dengan lokasi lain di sekitarnya.
Menurut Tarigan (2006:147) model gravitasi yang digunakan untuk menganalisa daya tarik suatu lokasi dapat juga digunakan untuk memperkirakan besarnya arus lalulintas pada jalan tertentu, menaksir banyaknya perjalanan (trip) antara dua tempat (berdasarkan daya tarik masing-masing tempat), banyaknya pemukim untuk lokasi tertentu (berdasarkan daya tarik masing-masing pemukiman), banyaknya pelanggan untuk suatu kompleks pasar (berdasarkan daya tarik masing-masing pasar), banyak murid sekolah untuk masing-masing lokasi (berdasarkan daya tarik masing-masing sekolah untuk jenjang dan kualitas yang sama), banyaknya masyarakat yang berobat pada berbagai lokasi tempat berobat (berdasarkan daya tarik masing-masing tempat berobat dengan kualitas yang sama). Dan model ini juga banyak digunakan untuk perencanaan transportasi untuk melihat besarnya arus lalulintas ke suatu lokasi sesuai daya tarik lokasi tersebut. Dengan demikian dapat diperkirakan volume arus lalu lintas dan lebar jalan yang perlu dibangun sesuai volume jalan tersebut.

2. Model Gravitasi Hansen atau Model Potensial Lahan
Dalam perencanaan wilayah model gravitasi yang pertama kali digunakan adalah model gravitasi yang dikembangkan oleh W.G Hansen. Model ini berkaitan dengan prediksi lokasi dari pemukiman penduduk berdasarkan daya tarik masing-masing lokasi. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa tersedianya lapangan kerja, tingkat aksesibilatas,dan adanya lahan perumahan yang masih kosong, akan manarik penduduk berlokasi ke subwilayah tersebut.
Sekali lagi menurut Tarigan (2005:156) yang mengutip pendapat Lee, model ini tidak persis sama dengan model gravitasi karena tidak didasarkan atas saling interaksi antarsubwilayah (zona), melainkan tiap subwilayah destination dianggap memiliki daya tarik tersendiri dan bagaimana suatu kegiatan dari keseluruhan wlayah bereaksi terhadap daya tarik tersebut. Artinya origin tidak diperinci per subwilayah hanya destination yang diperinci per subwilayah. Hansen mula-mula menggabung jumlah lapangan kerja dan kemudahan mencapai lokasi sebagai accessibility index (indeks aksesibilitas). Secara umum indeks aksesibilitas adalah adanya unsur daya tarik yang terdapat di suatu subwilayah dan kemudahan untuk mencapai subwilayah tersebut.
Menurut Hansen accessibility index adalah faktor utama dalam menentukan orang memilih lokasi tempat tinggalnya. Accessibility index dihitung dengan persamaan (Lee,1973:72):
Ej
Aij =
dij

Keterangan :
Aij = Accessibility index daerah i terhadap daerah j
Ej = Total lapangan kerja (employment) di daerah j
dij = Jarak antara i dan j
b = pangkat dari dij

Indeks yang diperoleh adalah daya tarik satu subwilayah j ditinjau dari sub wilayah i, apabila daya tarik seluruh subwilayah diperhitungkan /digabungkan maka rumusnya menjadi :
n Ei
Ai = Σ
j=1 dbij

Selain indeks aksesibilitas, adanya lahan kosong dan tersediannya fasilitas lainnya adalah merupakan unsur daya tarik lain yang harus diperhatikan, untuk berlokasi di subwilayah tersebut. Lahan kosong ini oleh Hansen dinamakan holding capacity. Perlu diingat pengertian lahan kosong di Indonesia adalah lahan yang cocok untuk pemukiman penduduk. Lahan kosong yang tidak sesuai dengan pemukiman penduduk harus dikeluarkan dari perhitungan ini, misalnya lahan yang kemiringannya diatas 30°, daerah rawa-rawa, daerah yang sering banjir, sawah beririgasi teknis, badan jalan, sungai, drainase, dan lahan yang sudah diperuntukan untuk tujuan tertentu, misalnya perkantoran, kompleks militer, kawasan industri, lapangan olahraga, dan pariwisata. Gabungan accessibility index dan holding capacity adalah potensi pengembangan daerah tersebut.
Potensi pengembangan daerah i (disingkat Di) adalah Di = Ai Hi
Keterangan :
Ai = accessibility index
Hi = Holding capacity
Untuk mengetahui daya tarik subwilayah tersebut, potensi pengembangan subwilayah tersebut harus dibandingkan dengan daya tarik keseluruhan wilayah :
Ai Hi

n
Σ Ai Hi
J = 1
Untuk menghitung pertambahan penduduk untuk kota itu secara keseluruhan adalah Gt maka tanbahan penduduk yang akan berlokasi di daerah i adalah:
(Ai Hi) Di
Gi = Gt atau Gt
n n
Σ Ai Hi Σ Di
j=1 j=1


Keterangan :
Di = Ai Hi
Gt = Tambahan penduduk di seluruh wilayah
Gi = Tambahan penduduk di daerah i
Dalam model hansen origin (Oi) dianggap satu kesatuan, artinya tidak dilihat dari subwilayah mana asalnya tambahan penduduk itu, dan tambahan penduduk ini didistribusikan ke berbagai subwilayah yang ada.
B. Data Luas Kecamatan, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Banjarnegara yang memiliki 20 kecamatan dan pada tahun 2007. Data-data yang disiapkan untuk menganalisis adalah jumlah penduduk, luas kecamatan, jumlah sekolah, jumlah tenaga medis, luas lahan kosong, jarak tempuh (menit) dan proyeksi lapangan kerja total untuk tahun 2011(perencanaan untuk 5 tahun).

BAB III
PERHITUNGAN DAN ANALISIS MASALAH

A. Perhitungan Daya Tarik (Accessibility Index)
Dari data kajian teori dan data yang disajikan pada bab sebelumnya bahwa ada 4 kecamatan sebagai obyek analisis yaitu kecamatan Susukan, Purworejo Klampok, Mandiraja dan Purwonegoro. Maka dapat diasumsikan bahwa kecamatan Susukan sebagai subwilayah A , Purworejo Klampok subwilayah B, Mandiraja subwilayah Cdan Purwonegoro subwilayah D.
Untuk menganalsis daya tarik antar kecamatan dapat memasukkan kondisi keempat kecamatan tersebut pada tahun 2006 sebagai berikut.

2 komentar:

David Yudha Prasetya mengatakan...

manteb ni tulisannya, kebetulan lg belajar tentang model gravitasi tp lanjutannya mana pak...

zikra melinda mengatakan...

terima kasih infonya, tapi hasil / aplikasi mana?